Wajib Helm di Dalam Kelas

tragis kembali muncul dari dunia pendidikan kita. Pekan ketiga Mei ini, sekitar pukul 15.30 wib, atap di lantai tiga Sekolah Dasar Negeri 01 pagi dan 02 Kwitang, Jakarta Pusat, ambrol. Tiga siswi kelas dua dan seorang penjaga sekolah menjadi korban. Kepalanya terluka tertimpa balok kayu penyangga kanopi tersebut. Ini adalah kali kedua bencana terjadi di gedung sekolah tersebut. Yang pertama, pada tahun 2004, gedung sekolah yang masih satu lantai ambruk semua.
Kejadiannya malam hari di saat hujan sehingga tidak menimbulkan korban. Pemda DKI Jakarta melakukan renovasi total dan membangun gedung sekolah yang asalnya hanya satu lantai menjadi tiga lantai. Megah, memang. Namun ini ternyata hanya kesan luarnya saja.

Hanya berselang tujuh tahun kemudian, atap lantai tiga ambrol. Kali ini menelan korban empat orang terluka. Kepala mereka bocor tertimpa balok kayu, genteng, dan lainnya.

Peristiwa ini menambah daftar panjang ambruknya gedung sekolah di negeri yang kehidupan pejabatnya kian makmur namun rakyatnya kian melarat ini.

Di DKI Jakarta saja, tercatat ada ratusan gedung sekolah yang rusak dan belum “sempat” diperbaiki pemerintah. Dari ratusan gedung sekolah yang rusak, yang diperbaiki baru belasan, itu pun tidak bisa dipertanggungjawabkan secara profesional hasil dari kualitas perbaikannya. Kejadian ambruknya kanopi SDN 01 dan 02 Kwitang kemarin menjadi bukti tak terbantahkan.

Menghadapi hal ini, sikap pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat ternyata sama saja. Mereka mengaku menyiapkan anggaran yang cukup besar untuk bisa dipergunakan memperbaiki gedung-gedung sekolah yang rusak tersebut, namun tidak turut mengawasi secara benar penggunaan dari anggaran tersebut. Padahal bukan lagi rahasia umum jika aparatur birokrasi kita ini terkenal korup. Dari tingkat atas hingga ke bawah-bawahnya. Dari pucuk hingga ujung akarnya. Sebab itu, bukan suatu hal yang mustahil jika bertambahnya anggaran, maka bertambah pula dana yang dikorup pejabatnya. Bertambah makmurlah pejabat-pejabat korup itu dan gedung-gedung sekolah yang ada pun bertambah rusak terbengkalai.

Pada akhir tahun 2008 Wakil Gubernur DKI Prijanto berjanji semua gedung sekolah yang rusak parah akan diperbaiki agar tidak ada sekolah yang sampai ambruk. Namun kenyataan di lapangan berbeda.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sudah menyerukan kepada Departemen Pendidikan Nasional dan para kepala daerah, agar tidak ada lagi gedung sekolah yang rusak, karena pemerintah pusat telah memenuhi kuota anggaran 20 persen bagi pendidikan dalam APBN 2009. Namun hal ini tentu saja baru sebatas himbauan tanpa langkah-langkah kongkrit lebih lanjut. Sama seperti klaim SBY jika pemerintahnya akan berjihad melawan korupsi, namun hasilnya nol besar sehingga banyak orang tertawa sinis dan berkata, “Mana mungkin bisa jihad dipimpin seorang yang lamban dan peragu…”

Di sisi lain, agaknya kita harus mengakui jika keseriusan pemerintah—baik pusat maupun daerah—untuk membenahi sektor pendidikan memang benar-benar minim. Tragedi yang terjadi dunia pendidikan kita hanyalah sebagian kecil dari puncak gunung es berbagai masalah yang melingkupi negeri ini.

Lihat saja kenyataan yang ada di depan hidung kita. Alih-alih memperbaiki gedung sekolah yang rusak, memperbaiki jalan raya yang seperti kubangan kerbau, memikirkan cara mengurai kemacetan, dan bekerja keras untuk mensejahterakan rakyat, para pejabat di negeri ini malah berlomba-lomba merampoki uang rakyat untuk meningkatkan kenikmatan hidup dan kenyamanannya sendiri.

Ambil saja contoh kecil, seakan tidak mau kalah set dari anggota DPR pusat yang memuakkan banyak orang, anggota DPRD DKI Jakarta baru-baru ini mendapat fasilitas kendaraan dinas mewah Grand New Toyota Corolla Altis 2.0 yang sebijinya mencapai harga 400-an juta rupiah. Semua anggota DPRD DKI mendapat jatah. Uangnya, sebesar 40 miliar rupiah, diambil dari APBD yang notabene dikumpulkan dari hasil memajaki warga Jakarta.

Banyak orang geleng-geleng kepala. Buat apa kendaraan 2000 cc di jalan raya Jakarta yang selalu saja macet ini? Apalagi dengan jatah masing-masing anggota akan mendapat 20 liter pertamax setiap harinya. Seharusnya, jika demi alasan untuk menunjang mobilitas mereka di wilayah Jakarta, mereka lebih cocok diberi motor tanpa gigi, skutik seperti Mio, atau kalau takut kehujanan, cukuplah diberi kendaraan roda empat dengan cc di bawah 1.5 seperti Nissan March. Atau kalau mau mendukung Go Green Movement, dikasih saja sepeda fixie yang lagi trendy.

Mendapat sorotan tajam warga Jakarta, beberapa anggota DPRD DKI berkilah jika dirinya tidak mengambil jatah mobil dinas tersebut. Ada yang mengaku tidak tahu adanya fasilitas tersebut, ada pula yang menolaknya mentah-mentah.

Benarkah demikian? Untunglah wartawan bukan mahluk yang bodoh. Wartawan tahu jika mobil-mobil tersebut dikumpulkan di gudang milik Pemrov DKI yang berada di wilayah Perintis Kemerdekaan. Ketika ditengok, gudang tersebut tampak kosong melompong. “Semuanya sudah diambil Mas,” ujar seorang penjaganya dengan senyum penuh arti. Ternyata para pejabat ini benar-benar menghayati konsep Bhineka Tunggal Ika: Walau berbeda partai tapi sama saja kelakuannya.

Adalah realita jika sekarang para pejabat negeri ini sama sekali tidak memikirkan bagaimana cara memajukan bangsanya. Adalah kenyataan jika kini para pejabat di negeri ini sama sekali tidak pernah berpikir bagaimana mensejahterakan rakyatnya. Adalah fakta jika para pejabat di negeri ini semata-mata berpikir—dan bekerja—untuk meningkatkan taraf kehidupannya sendiri. Anggota DPR bukanlah wakil rakyat, tapi wakil partai. Sebab itu, mereka tidak pernah memikirkan rakyat melainkan sibuk memikirkan partai, walau mulutnya berbusa-busa mengaku demi rakyat dan demi rakyat.

Rakyat Indonesia sekarang bagaikan anak ayam yang tidak diperdulikan induknya. Rakyat Indonesia sekarang dengan inisiatif sendiri banyak yang bergotong-royong menambal jalan raya di wilayahnya dari koceknya sendiri, membangun gedung sekolah di wilayahnya dari iuran RT dan RW, dan sebagainya. Rakyat Indonesia sekarang sudah bosan menunggu para pejabatnya turun tangan untuk melakukan perbaikan.

Dan mungkin, sudah saatnya jika anak-anak kita, yang masih bersekolah, selain membawa tas bersi buku dan pensil, sekarang juga harus mengenakan helm di dalam ruangan kelas, agar jika sewaktu-waktu atap kelasnya ambruk, kepalanya terhindar dari cedera yang serius. [rz]

Sumber foto: matanews.com

0 komentar:

Posting Komentar